Header

Header

Formalin dalam Makanan



Formalin alami vs buatan

    Formalin, merupakan larutan formaldehid dengan konsentrasi sekitar 37%. Di alam, semua bentuk kehidupan – bakteri, tanaman, ikan, hewan dan manusia – secara alami menghasilkan formaldehid, gas yang tidak mudah terbakar dan sangat reaktif, sebagai bagian dari metabolisme sel. Senyawa ini juga merupakan bahan kimia pembangun yang penting seperti produksi vaksin.

Formalin dapat ditemukan secara alamiah dalam makanan hingga 300-400 ppm (part per million), termasuk pada buah-buahan, sayuran, daging, dan ikan laut. Sebagai hasil antara dalam metabolisme, sebagian besar organisme mengandung formaldehide dalam kadar rendah.

    Kadar formalin yang terjadi secara alami dapat bervariasi tergantung dari jenis dan kondisi makanan. Misalnya, riset Farrhin Nowshad dan koleganya (2018) dari Bangladesh University dan P. Wahed dan koleganya (2016) dari Bangladesh menemukan beberapa jenis buah yang memiliki kandungan formalin alami seperti apel, pisang, pir, semangka, dan anggur. Di dalam buah anggur, formalin alami dapat ditemukan sekitar 22,4 ppm. Untuk makanan yang mengandung formalin alami, tidak ada peraturan internasional tentang tingkat referensinya.

    Satu studi menunjukkan bahwa formaldehid tidak menumpuk pada tubuh manusia karena cepat terurai oleh proses metabolisme alami tubuh. Begitu masuk ke tubuh, formaldehid dengan cepat dipecah menjadi bahan kimia lain. Sebagian besar bahan kimia ini dengan cepat meninggalkan tubuh melalui urin. Formaldehid juga dapat dikonversi menjadi karbon dioksida dan dikeluarkan oleh tubuh melalui pernafasan. Sedangkan di lingkungan, formaldehid cepat terurai di udara oleh kelembaban dan sinar matahari, atau oleh bakteri di tanah atau air.

    Formaldehid memiliki bau menyengat, dapat menyebabkan iritasi mata, dan uapnya bereaksi cepat dengan selaput lendir hidung, tenggorokan, dan saluran pencernaan pada konsentrasi tinggi. Senyawa kimia ini memiliki titik didih 90-100 derajat Celsius, pH 2,8-4,0 dan dapat bercampur dengan air, alkohol, dan aseton.

    Selain diproduksi di alam, formalin dapat diproduksi secara massal di pabrik. Formalin buatan pabrik umumnya digunakan sebagai desinfektan, pembasmi serangga, dan pengawet dalam industri pembuatan resin plastik, industri kayu, kertas dan tekstil. Bahan kimia ini kerap dipakai untuk mengawetkan mayat. Formalin buatan inilah yang kerap disalahgunakan untuk pengawet makanan dan buah-buahan.

Penyalahgunaan Formalin

    Penggunaan formalin secara luas, dalam pengawetan ikan, buah-buahan, dan bahan makanan lainnya merupakan ancaman bagi kesehatan masyarakat. Bahan kimia yang digunakan sebagai larutan dalam air membuat ikan tetap segar dan membuat buah-buahan seperti mangga menarik. Bahan kimia ini, biasanya digunakan untuk mencegah mayat membusuk, sekarang digunakan untuk mengawetkan barang yang bisa dimakan.

    Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), departemen yang mengawasi dan mensurvei makanan dan obat-obatan, menemukan bahwa sebagian pedagang yang tidak jujur ​​menggunakan formalin secara luas dalam pengawetan bahan makanan, termasuk ikan, tahu, dan mie.

    Desember 2005 lalu, BPOM melakukan uji laboratorium terhadap 161 sampel hasil laut (meliputi ikan, cumi-cumi, udang, tiram, ikan asin kering / cumi-cumi), tahu, dan mie basah dari 6 kota di Lampung, Sumatera Selatan. Hasil pengujian menunjukkan 64 sampel ditemukan positif mengandung formalin. Selain itu, BPOM juga melakukan percobaan sederhana pada sampel positif dalam upaya menghilangkan kandungan formalin. Produk tersebut dicuci bersih dan direbus dalam air dengan suhu 80 ° C selama 5 sampai 10 menit. Kadar formalin berkurang tetapi tidak sepenuhnya hilang. Jadi kesimpulannya, sekali formalin ditambahkan tidak bisa dihilangkan.

Pengaruh formalin terhadap kesehatan

    Berdasarkan standar Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), batas maksimum formalin yang diperbolehkan dikonsumsi dalam makanan adalah 100 ppm (part per million) yaitu 100 mg/kg makanan per orang per hari. Jika dikonsumsi pada konsentrasi yang lebih tinggi dari batas tersebut, formalin dapat menyebabkan kerusakan pada saluran pencernaan, ginjal, hati dan paru-paru, bahkan dapat menyebabkan kanker. (Penggunaan formalin buatan untuk pengawet makanan jelas-jelas dilarang).

    Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) telah mengelompokkan formalin sebagai zat karsinogenik berdasarkan studi paparan melalui pernafasan. Sebagai contoh, kanker nasofaring yang merupakan bentuk kanker yang sangat langka berhubungan dengan paparan formaldehid.

Beberapa pengaruh formalin terhadap kesehatan:

  •     Jika terhirup akan menyebabkan iritasi dan bahkan rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, dan dapat menyebabkan kanker paru-paru. Pada konsentrasi sangat tinggi akan menyebabkan kematian.
  •     Jika kontak dengan kulit. Uap atau larutannya dapat menyebabkan rasa sakit, keras, mati rasa, kemerahan pada kulit, gatal, dan kulit terbakar.
  •     Jika terkena mata akan menyebabkan mata memerah, gatal, berair, kerusakan mata, penglihatan kabur, bahkan kebutaan.
  •     Jika tertelan akan menyebabkan mual, muntah-muntah, perut terasa perih, diare, sakit kepala, pusing, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, kulit membiru, hilangnya pandangan, kejang, bahkan koma dan kematian.

    Formalin yang baru-baru ini ditemukan dalam makanan mungkin tidak memberikan reaksi yang begitu nyata. Namun zat ini diketahui sebagai zat karsinogenik, dapat memicu terjadinya kanker. Sebuah penelitian menunjukkan tikus yang terpapar formalin dengan konsentrasi 6 sampai 15 ppm selama 2 tahun mengembangkan karsinoma sel skuamosa di lubang hidung. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan formalin akan menyebabkan masalah ginjal, hati, dan paru-paru.

Mengenali makanan yang berformalin

    Ada beberapa penanda bahwa makanan dan buah-buahan telah ditambahi formalin non-alami.Secara alamiah buah-buahan segar biasanya dikelilingi oleh banyak serangga pecinta buah, tapi buah-buahan yang telah dicelup/disemprot formalin akan bebas dari lalat, lebah, semut atau serangga pecinta buah lainnya. Buah yang dicelupkan ke dalam larutan formalin terasa keras saat disentuh. Warna kulit buah menjadi kusam dan tidak akan berubah seiring waktu. Sementara, ikan yang terkontaminasi formalin, teksturnya kaku, sisik keras, insang merah, mata jernih, dan tidak memiliki ‘bau amis’ sehingga bebas dari lalat yang terbang di sekitarnya.

    Cumi-cumi. Konsistensi yang sangat kenyal. Tidak dapat memecahkan daging dengan tangan, yang biasanya Anda bisa, hanya dapat dipotong dengan pisau. Hasil laut lainnya, termasuk ikan asin kering. Formalin akan membuat ikan menjadi kaku, keputihan dan tidak berbau. Meski sudah matang, yakni digoreng, tetap akan kaku. Tahu. Konsistensinya lebih kenyal dari biasanya, permukaannya cenderung keras, tidak rusak setelah 24 jam. Biasanya setelah 24 jam, tahu akan menjadi berlendir, rapuh dan asam. Jika dikukus, direndam dalam air dingin, atau disimpan di lemari es, dapat bertahan lebih lama. Mie basah. Berwarna kekuningan, cenderung elastis, dengan bau seperti obat atau bau seperti abu bila direbus atau dicampur air panas.

    Formalin memiliki sifat kimia yang mudah larut dalam air, sehingga sebelum memakan buah-buahan sebaiknya dicuci terlebih dulu dengan air mengalir. Anda juga bisa merendam buah dalam air, kemudian buang air hasil rendaman. Cara lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi paparan formalin pada makanan adalah memasaknya sampai suhu 90-100 derajat celsius sehingga formalin akan menguap terbawa udara.

Bagaimana cara menghindari makanan berformalin?

  •  Ikan, terutama ikan laut. Peras ikannya, jika sudah empuk harus bebas formalin. Pilih ikan yang masih berbau amis. Yang terbaik adalah membeli ikan hidup.
  • Hindari ikan asin kering.
  • Tahu. Pilih satu dengan permukaan dan konsistensi halus. Lebih aman mengonsumsi tahu telur atau tahu air (juga dikenal sebagai tahu jepang), meski produk ini tidak tahan lama dan sangat rapuh.
  • Mie basah. Coba yang berwarna kurang menarik.
          (Dian Wuri Astuti,2019 & BPOM)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.